Pemerintahan Prabowo Subianto yang telah berjalan secara resmi pada Oktober 2024 memunculkan berbagai kebijakan yang memengaruhi sektor ekonomi secara luas. Salah satu kebijakan yang paling berdampak pada industri perhotelan adalah program efisiensi anggaran, yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk merapikan belanja negara dan mendorong efektivitas program pemerintah. Namun, kebijakan ini membawa dampak signifikan terhadap industri perhotelan yang selama ini banyak bergantung pada aktivitas instansi pemerintah.
Menurut data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), lebih dari 60% pendapatan hotel-hotel bintang tiga hingga lima bersumber dari penyelenggaraan kegiatan oleh pemerintah.
Salah satu dampak paling nyata dari kebijakan efisiensi anggaran ini adalah berkurangnya jumlah perjalanan dinas dan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang diselenggarakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah. Kegiatan ini sebelumnya menjadi salah satu sumber utama pendapatan hotel, khususnya yang berada di pusat kota dan daerah strategis lain seperti Bali, Yogyakarta, dan Bandung.
Menurut data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), lebih dari 60% pendapatan hotel-hotel bintang tiga hingga lima bersumber dari penyelenggaraan kegiatan oleh pemerintah. Dengan pemangkasan anggaran tersebut, tingkat okupansi hotel menurun drastis. Tidak sedikit hotel yang melaporkan penurunan tingkat hunian hingga 40% dibandingkan tahun sebelumnya.
Efek domino dari menurunnya tingkat okupansi adalah pemotongan biaya operasional oleh pihak manajemen hotel. Langkah ini meliputi pengurangan jam kerja, penghapusan tenaga kerja harian lepas (daily worker), bahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) permanen. Survei yang dilakukan PHRI bersama Horwath HTL menunjukkan bahwa 88% hotel mempertimbangkan opsi PHK dalam tiga bulan ke depan jika situasi tidak membaik.
Beberapa hotel juga mulai menutup fasilitas tertentu, seperti restoran atau ruang rapat, untuk menekan biaya operasional. Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi industri perhotelan nasional yang baru saja mulai pulih dari dampak pandemi.
Meski menghadapi tekanan besar, industri perhotelan masih memiliki peluang untuk beradaptasi dan bertahan. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:
Hotel tidak bisa lagi bergantung pada pasar pemerintah. Diversifikasi target pasar ke sektor swasta, komunitas, pelancong individu, dan digital nomad bisa menjadi solusi. Program staycation, wedding packages, atau bundling dengan destinasi wisata lokal menjadi alternatif yang bisa mendatangkan tamu baru.
Hotel harus mulai menawarkan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar baru. Misalnya, menyediakan co-working space, layanan food delivery, atau long-stay packages untuk pekerja jarak jauh.
Bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pelaku pariwisata lokal dalam membuat program promosi dan event skala kecil dapat membantu meningkatkan okupansi hotel. Contoh konkret adalah penyelenggaraan event budaya atau pasar kuliner yang bisa menarik wisatawan lokal.
Mengurangi biaya operasional secara efisien tidak selalu berarti pemangkasan tenaga kerja. Penggunaan teknologi untuk mengotomatisasi proses check-in, pemesanan, dan layanan tamu dapat mengurangi beban kerja dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Dalam menghadapi penurunan okupansi dan tekanan biaya, penggunaan sistem manajemen hotel berbasis cloud dengan skema pembayaran fleksibel menjadi pilihan cerdas. Saat ini, sudah tersedia sistem manajemen hotel (Property Management System / PMS) yang memungkinkan hotel hanya membayar biaya sistem sesuai dengan jumlah kamar yang terjual (berbasis okupansi). Salah satunya adalah Anyaman Hospitality, sistem hotel yang dibangun oleh hoteliers untuk hoteliers.
Model biaya seperti ini sangat membantu hotel yang sedang mengalami fluktuasi tingkat hunian. Misalnya, jika dalam satu bulan hotel hanya berhasil menjual 100 kamar, maka biaya sistem yang dikeluarkan pun hanya dihitung berdasarkan 100 kamar tersebut, bukan berdasarkan jumlah total kamar tersedia.
Fitur dalam sistem ini meliputi:
Dengan skema biaya fleksibel, hotel dapat mengefisiensikan operasional tanpa beban tetap yang berat, sekaligus tetap menjaga kualitas layanan kepada tamu.
Pelaku industri perhotelan memahami bahwa kebijakan efisiensi anggaran adalah langkah strategis dari pemerintah. Namun, diperlukan juga dialog antara pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi bersama agar sektor perhotelan tidak terpuruk lebih dalam. Pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih aktif dalam menghidupkan kembali sektor pariwisata lokal.
PHRI dan asosiasi lainnya juga diharapkan bisa menjadi jembatan komunikasi dengan pemerintah pusat, termasuk dalam memberikan masukan terkait insentif pajak, bantuan promosi, atau stimulus operasional bagi hotel yang terdampak.
Kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan pemerintahan Prabowo memang membawa tantangan besar bagi industri perhotelan. Namun, dengan strategi adaptasi yang tepat, diversifikasi pasar, pemanfaatan teknologi dengan skema biaya fleksibel, serta sinergi dengan pemerintah daerah dan sektor swasta, industri perhotelan tetap memiliki peluang untuk bangkit dan berkembang.
Kuncinya adalah ketanggapan, kreativitas, dan keberanian untuk berubah menghadapi pola baru dalam bisnis pariwisata dan perhotelan di Indonesia.
Anyaman adalah sebuah perusahaan induk yang menyediakan solusi bagi industri perhotelan, hotel, villa & service apartment di bidang Manajemen Perhotelan, Sistem & Teknologi Informasi serta Pengembangan Bisnis, yang didirikan pada awal tahun 2024, dalam rangka menjawab pesatnya perkembangan pariwisata secara umum dan perhotelan secara khusus di Indonesia saat ini